Pencarian

Minggu, 29 Maret 2015

Kebaikan yang terlupakan

Wajah Humanis Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, Saat mendampingi kunjungan resmi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atas undangan Menteri Urus an Islam Arab Saudi al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh ke Arab Saudi pada 15-20 Maret 2015, ada wajah humanis yang menguat di benak penulis tentang Arab Saudi, terutama saat mengunjungi Sultan bin Abdul Aziz Humanitarian City (SBAHC) di Riyadh. Negeri monarki kaya minyak ini punya atensi dan kontribusi besar terhadap kemanusiaan yang belum banyak diekspose.

Hal serupa diakui Menag Lukman Hakim di sela-sela kunjungannya ke berbagai fasilitas SBAHC yang dibangun 30 Oktober 2002 di atas lahan seluas satu juta meter persegi dengan 400 tempat tidur ini bahwa Saudi punya sisi lain yang luar biasa bagi kemanusiaan.
SBAHC dengan visi "Menjadi pusat keunggulan bertaraf internasional dalam rehabilitasi dan pelayanan kesehatan"
dan dengan misi terkenalnya "Helping people to help themselves", cukup menjadi salah satu ikon wajah lain Saudi kontemporer. Semua dibangun dengan uang pribadi almarhum Pangeran Sulthan bin Abdul Aziz yang juga dijuluki Sulthan al-Khair, Sultan Kebaikan.

SBAHC tidak saja memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan perumahan gratis kepada penduduk tak mampu, mengembangkan pendidikan dan berbagai program pemberdayaan lain yang tidak saja di Saudi, tetapi juga di luar negeri, termasuk Indonesia. Salah satu contoh dari kerja filantropis Sulthan adalah pembiayaan perlombaan menghafal Alquran dan Hadis Nabi di Indonesia sejak 2006 hingga kini yang menelan biaya miliaran rupiah.

Tahun ini perlombaan ke-7 pada 22- 26 Maret 2015 yang juga dihadiri Pangeran Khalid bin Sulthan dan Menteri Urusan Islam al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh yang secara riil dapat mendorong muda-mudi Muslim Indonesia berlomba menghafal Alquran dan Hadis Nabi. Tentu banyak lagi data yang menyinggung kontribusi Saudi terhadap kemanusiaan internasional.

Dalam sebuah riset "Saudi Arabia as a Humanitarian Donor: High Potential, Little Institutionalization" yang ditulis Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, negara kerajaan ini merupakan negara donor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia dan anggota OECD Development Assistance Committee.

Demikian juga dengan gempa di Haiti 2010, Saudi menyumbang 50 juta dolar bagi dana penanggulangan darurat. Pada 2008, Saudi menyediakan dana segar senilai 500 juta dolar untuk Program Pangan Dunia dan dicatat sebagai kontribusi terbesar sejarah organisasi ini.

Menurut situs Humanitarian News and Analysis (IRIN), Saudi menyumbang 70 persen dari donasi yang diperlukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menangani pengungsi konflik Irak sebesar 500 juta dolar dan menjadikan Saudi sebagai donator terbesar keempat setelah AS, Uni Eropa, dan Inggris (www.irin- news.org, 17/09/2014). Bahkan, studi oleh Bank Dunia, Saudi merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia kepada negara-negara berkembang, khususnya pada program Official Development Assistance (ODA) sepanjang 1973-2010 dengan mendanai 472 proyek di 77 negara (43 Afrika, 27 Asia, dan 7 negara lain).

Pada 2013, Saudi mendonasikan 109 juta dolar untuk program kedaruratan kemanusiaan PBB dan banyak lagi bantuan kemanusiaan di bawah payung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan Saudi, seperti 50 juta dolar untuk kemanusiaan di Irak (2014) dan menjanjikan bantuan 500 juta dolar bagi kemanusiaan Irak melalui PBB.

Hal serupa juga pada 2014, Saudi mendonasikan SR 1,8 miliar untuk proyek-proyek PBB di Irak, SR 750 juta kepada pengungsi Suriah, dan SR 1,8 miliar bagi proyek rekonstruksi Gaza (Arabnews). Kedermawanan Saudi jauh mengungguli Barat, apalagi bila disertakan sumbangsih partikelir dan volunteer rakyatnya yang tidak bisa didata.

Ada dua faktor utama ekspose aspek humanisme Saudi ini terjadi. Pertama, kecenderungan sebagian media yang terjebak dalam kampanye terorisme Barat, seolah radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme itu dari Wahabisme dengan tujuan politis, ekonomis, bahkan ideologis. Ang gapan ini tentu keliru, bahkan Saudi menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling keras perlawanannya terhadap radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.

Kedua, ikhlas tanpa publikasi. Keinginan sengaja pihak Saudi untuk tidak memublikasikan bantuan karena ajaran agama yang tak menganjurkan publikasi kebajikan yang telah diberikan.

Salah satu contoh keengganan Saudi memublikasikan bantuan adalah penuturan seorang sumber di Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta kepada penulis baru-baru ini. Saudi memberikan bantuan pengobatan terhadap almarhum KH Sahal Mahfudz, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) --yang se bagian tokohnya kerap menghujat Wahabisme sebagai ideologi berbahaya dan transnasional.

Ketika almarhum sakit, Saudi menawarkan tiga hal kepada beliau, yaitu berobat ke Saudi, berobat ke rumah sakit mana saja di dunia, atau berobat di rumah sakit Indonesia yang semua pembiayaannya ditanggung pihak kerajaan. Dengan berbagai pertimbangan, almarhum memilih opsi ketiga di mana seluruh pengobatan selama sakit ditanggung Kerajaan Saudi. Cerita ini belum pernah diungkap kecuali setelah beliau wafat dan itu pun kepada kalangan terbatas. Bisa jadi almarhum bukan satu-satunya orang di Indonesia yang mendapatkan kebajikan `tanpa pamrih' Saudi.

Namun, data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi terhadap negeri bak `sinterklas' ini. Saudi masih didesain dan diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan mengancam NKRI.

Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak kedamaian ibu pertiwi.

Saatnya Saudi menjadikan aspek humanisme dan filantropisnya sebagai strategi soft-power demi keberlangsungan pembangunan, keadilan, dan kedamaian. Realita humanisme Saudi berlanjut walau tanpa peliputan masif media, mengungguli humanisme Barat yang cenderung lebai dan penuh agenda. Fakta dan data berbicara lebih kuat dan humanisme Saudi bukan basa-basi. 

AHMAD D BASHORI
Konsul Haji di Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah Arab Saudi

Kamis, 26 Maret 2015

Kita

Sungguh anehnya masyarakat kita ini.
Ketika orang belajar agama dengan membaca buku mereka berkata "belajar agama jangan cuma dari buku nanti salah pemahaman tapi belajar harus ada gurunya",

dan ketika orang belajar agama dengan guru, yaitu dengan mendatangi kajian-kajian islam ilmiah yang gurunya berpendidikan maka mereka berkata lagi, "Tidak usahlah kita ikut-ikutan aliran ini dan itu nanti jadi sesat, kita islam yang biasa-biasa saja".

Jadi teringat kisah ini,




Sabtu, 14 Maret 2015

Syaikh Abdurrozaq (Menjaga keikhlasan)

Menolak Penulisan Gelar dan Menolak Tersohor

Sangat sedikit orang yang memiliki gelar dan memang layak memiliki gelar tersebut. Dan lebih sedikit lagi jumlahnya, orang-orang yang enggan mencantumkan gelar-gelar yang layak mereka sandang. Syaikh Abdurrozaq adalah satu di antara yang sedikit tersebut. Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’,  tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut. Padahal sudah belasan tahun –bahkan hampir 20 tahun- beliau menyandang gelar professor, mengingat beliau memperoleh gelar tersebut dalam usia yang masih relatif muda. Hal ini dikarenakan karena beliau sangat produktif dalam menelurkan karya-karya ilmiah yang sangat berharga.

Saat Radiorodja ingin menulis undangan kepada beliau untuk datang ke Indonesia, beliau ingatkan untuk tidak perlu mencantumkan dalam undangan tersebut bahwasanya beliau akan menyampaikan kajian di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Indonesia. Beliau katakan cukup dicantumkan bahwa beliau akan mengisi di Radiorodja. Bahkan, tatkala pihak Radiorodja menyampaikan kepada beliau bahwa ada salah satu stasiun televisi yang ingin meliput kajian beliau dan juga ada sebagian wartawan yang ingin mewawancarai beliau maka beliau menolak.

Menyembunyikan Tangis untuk Menjaga Keikhlasan

Sesungguhnya insan yang selalu dekat dengan Tuhannya, niscaya lembutlah hatinya. Hati yang lembut begitu mudah disentuh oleh perasaan khauf (takut kepada Allah) dan raja’ (berharap pada-Nya). Hati yang lembut pun bukan hanya mudah tersentuh, namun juga mudah ‘menyentuh’ hati orang lain.

Saat saya kuliah di semester 1 Fakultas Hadits, Syaikh Abdurrozaq menyampaikan muhadharah tentang iman kepada Hari Kiamat. Beliau dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan dahsyatnya hari kiamat sehingga timbul rasa “khauf” yang amat sangat dalam hati kami, para mahasiswa. Namun, tiba-tiba beliau terdiam, bahkan terpaku membisu. Kami pun terkejut, ada apa gerangan…?

Beliau terus membisu hingga sekitar beberapa menit lamanya. Saat itulah saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Hati saya pun semakin bertanya-tanya, “Mengapa Syaikh menahan tangisnya? Bukankah jika beliau menangis di hadapan kami maka akan semakin menambah haru suasana dan menambah hidup wejangan-wejangan beliau?”

Belakangan, setelah lama saya belajar, baru saya paham bahwa ternyata keikhlasan memang perkara yang sangat berat lagi sangat mahal harganya. Lebih berat lagi adalah menjaga keikhlasan setelah memperolehnya. Dan, memang merupakan kenyataan, bisa jadi seseorang ditimpa penyakit ujub tatkala dia mampu menangis di hadapan orang banyak. Bisa jadi… meskipun itu tidak lazim.

Pada kesempatan lain, beliau mengisi pengajian di Masjid Nabawi dan menyampaikan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. Saat itu beliau menjelaskan bahwa adanya orang tua di sebuah rumah merupakan hiasan rumah tersebut. Keberadaan orang tua menjadikan kehidupan di dalam sebuah rumah menjadi indah, dan ketiadaan mereka membuat kehidupan di rumah terasa gersang. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis. Beliau pun terdiam beberapa menit. Kemudian, beliau memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum. Lantas, tatkala beliau memegang gelas untuk minum, tangan beliau gemetar. Hampir-hampir air yang ada di gelas itu tertumpah.

Subhanallah… beliau berusaha menutupi tangisan dengan minum air agar tidak ketahuan oleh para hadirin. Padahal, saat itu terdapat ratusan hadirin, bahkan merupakan jumlah hadirin terbanyak di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid Nabawi saat itu.

Hal serupa terjadi saat beliau mengisi acara di Radiorodja. Saat itu, beliau menyampaikan kepada Radiorodja akan kerinduan beliau untuk berkunjung ke studio Radiorodja secara langsung, dan beliau mengucapkan terima kasih kepada kru Radiorodja. Saking terharunya, tiba-tiba beliau terdiam. Saya yang sudah siap menerjemahkan perkataan beliau, tersentak kaget. Saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau ternyata sedang menahan tangis.

Peristiwa ini sekaligus menunjukkan betapa tawadhuk sikap Syaikh, sehingga beliau yang menyampaikan rasa terima kasih kepada kru Radiorodja secara langsung. Tatkala kru Radiorodja menyampaikan rasa gembira atas kesediaan beliau datang ke Jakarta, beliau langsung menimpali, “Saya yang harus berterima kasih  kepada Radiorodja yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyampaikan dakwah.”

Subhanallah…! Sungguh sikap tawadhu yang tidak dibuat-buat. Semoga Allah meninggikan derajat beliau.

Sikap lain yang menunjukan ketawadu'an syaikh, tatkala kru radiorodja mengabarkan kepada syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul "Sebab-sebab kebahagiaan" berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena masjid istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jema'ah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka syaikh dengan tersenyum berkata, "Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda". Spontan kamipun  tertawa tatkala mendengar hal ini.

Ada juga kejadian lain yang tidak kalah menarik yang menunjukan sikap tawadhu syaikh, yaitu suatu ketika tatkala syaikh mengisi pengajian di radiorodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, "Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatakala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut". Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, "Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan aku berharap dan berdoa agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para pendengar radiorodja sekalian". Subhaanallah, sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.

Sungguh aku sangat merasa bagaimana beratnya ujian yang dihadapi oleh syaikh, bayangkan saja jika kita menyampaikan pengajian dan ternyata yang hadir sangatlah buaanyaak, tidak usah hinggga seratus ribu orang. Taruhlah yang hadir hanyalah seribu orang… betapa akan timbul berbagai banyak perasaan dalam hati kita, tercampur antara riya dan ujub.

Adapun mengenai upaya Syaikh untuk menyembunyikan tangis di hadapan orang lain, Saya teringat kisah salah seorang salaf ketika menyampaikan sebuah nasihat tiba-tiba dia pun menangis karena terharu dengan nasihat tersebut, lantas untuk menutupinya, beliau berkata, “Sesungguhnya influensa itu berat.” Ulama salaf tersebut adalah Ayyub As-Syikhtiyani, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Ar-Riqqah wal Buka:

قال حماد بن زيد: ذَكَرَ أَيُّوْبُ يَوْمًا شَيْئًا ، فَرَقَّ ، فَالْتَفَتَ كَأَنَّهُ يَتَمَخَّطُ . ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ: « إِنَّ الزُّكَّامَ شَدِيْدٌ عَلَى الشَّيْخِ »

Hammad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu kemudian dia pun terenyuh, lantas dia memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang ingus. Kemudian dia kembali menghadap kami dan berkata, ‘Sesungguhnya flu berat bagi Syaikh.’”

Syaikh Ayyub As-Syikhtiyani menggambarkan kepada orang-orang di sekitarnya seakan-akan beliau sakit flu, padahal beliau tidak sakit flu, oleh karena itu beliau tidak berkata, “saya sedang flu,” namun beliau berkata, “Penyakit flu itu berat.”

Subhanallah! Keikhlasan memang sulit. Namun lebih sulit lagi menjaga keikhlasan setelah seseorang meraihnya.

Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com

Rabu, 11 Maret 2015

Untuk kaum muslimin di pamekasan

Surat Terbuka Untuk Kaum Muslimin Di Pamekasan

 

Assalamua’laikum wr.wb.

Mengawali surat ini kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wataála atas semua limpahan rahmat dan nikmat-Nya hingga kita semua berada dalam keadaan sehat wal áfiat. Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad shallallahua’laihi wasallam, keluarga, para sahabatnya dan orang – orang yang senantiasa istiqamah dalam mengikuti petunjuknya.

 

Kaum muslimin yang dirahmati Allah,

Surat ini sengaja kami tulis sebagai  respon sekaligus klarifikasi atas peristiwa yang menimpa ustad Zainuddin yang kebetulan kami undang untuk mengisi pengajian di Masjid Ridwan, pada hari Sabtu, 7 Maret 2015. Penting bagi kami untuk memberikan informasi kepada masyarakat Pamekasan pada umumnya dan Jamaah Masjid Ridwan pada khususnya. Peristiwa ini benar – benar diluar dugaan kami, dan hampir tak pernah terbayangkan sedikitpun pada diri kami, bahwa di bumi Gerbangsalam ini kejadian yang sangat menciderai ukhuwah islamiyyah ini harus terjadi. Kejadian ini berawal dari surat yang dikirim oleh sebuah organisasi yang menamakan “GASPER” (gerakan santri pemuda rahmatan lilálamin) kepada Takmir Masjid Ridwan pada saat menjelang maghrib. Inti dari materi surat tersebut mengajak dialog ilmiah terkait apa yang disampaikan oleh Ustad  Zainuddin tiga tahun lalu yang bertempat di Islamic centre dammam, Saudi Arabia yang kebetulan di upload di Youtube. Sebagai pihak yang sangat menjujunjung tinggi ukhuwah islamiyyah, takmir Masjid Ridwan menyambut baik dialog ilmiah tersebut. Namun sebelum memutuskan untuk menggelar dialog, takmir mengabarkan kepada Ustad Zainuddin terkait dengan permintaan tersebut, dan alhamdulillah gayungpun bersambut, Ustad Zainuddin mengamininya. Atas dasar persetujuan dari ustad Zainuddin, maka Takmir Masjid Ridwan menghubungi  pihak yang bersangkutan sesuai dengan nomer yang tertera dalam surat tersebut.  Kami tidak punya prasangka apapun kepada saudara kami dari Gasper selain kebaikan dan kebaikan. Karena itu sebagai wujud kecintaan kami kepada sunnah maka semua hal yang berkenaan menyambut kedatangan saudara kami yang hendak dialog ilmiah kami persiapkan dengan baik, mulai dari tempat pertemuan dan konsumsi ala kadarnya. Kami benar – benar berharap pertemuan ini  akan menjadi momentum merekatnya tali ukhuwah islamiyyan diantara kami. Singkat cerita, waktu yang sudah disepakati pun tiba. Sekitar pukul 22.30 saudara kami dari Gasper datang. Maka dengan rasa persaudaraan yang tulus, kami menyambut mereka layaknya tamu yang memang harus kami muliakan. Tanpa basa – basi kami pun mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka dan menyalami mereka satu persatu. Maka dengan rasa hormat kami mengajak mereka ke tempat pertemuan yang sudah kami sediakan. Namun sungguh semuanya diluar dugaan kami, ajakan kami yang tulus ditolak mentah – mentah oleh mereka, bahkan mereka mengatakan tidak mau masuk dan hanya ingin ketemu dengan Ustad. Kamipun merasa heran, bagaimana mungkin mereka menolak masuk ke tempat pertemuan sementara mereka menginginkan jawaban yang detil terhadap apa yang disampaikan oleh Ustad Zainuddin, sungguh logika kami benar – benar tidak paham apa yang sesungguhnya mereka mau. Dalam kondisi  seperti ini kamipun masih khusnudzon (baik sangka), dan kamipun mendampingi saudara kami dari Gasper yang ingin menjumpai ustad Zainuddin yang kebetulan berjalan menuju tempat pertemuan dengan saudara kami. Namun semua diluar dugaan kami, ternyata bukan dialog tetapi yang terjadi justru pengadilan jalanan. Ustad Zainuddin benar – benar dihakimi dengan tanpa adab dan akhlaq seorang muslim. Juru bicara mereka mendatangi ustadz yang baru menyebrang jalan dan berteriak bertanya “ siapa yang bernama mas zainuddin ?”panggilan yang menurut kami sangat tidak pantas untuk seorang ustadz. Kemudian mereka memegang tangan Ustad Zainuddin, menarik ustadz dengan paksa ke trotoar dan langsung mencerca berbagai pertanyaan dengan teriak di jalanan sehingga jalanan yang awalnya sepi berubah menjadi ramai dengan berhentinya para pengguna jalan. Kamipun mencoba menahan mereka yang menarik ustad. Kami sampaikan kepada mereka bahwa sebaiknya diskusi diadakan di dalam yaitu tempat yang telah kami sediakan. Tapi mereka menjawab ajakan kami dengan berteriak “DIAM ! Namun Alhamdulillah, Ustad Zainuddin dengan tulus mendengarkan apa yang mereka katakan sampai mereka selesai. Setelah Ustad menganggap apa yang mereka tanyakan cukup, maka Ustad menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang santun dengan penuh rasa persaudaraan. Sungguh di luar dugaan kami, baru ustad mulai untuk menjawab salah seorang diantara mereka menyodorkan kamera atau hp tepat dihadapan muka Ustad Zainuddin sehingga ustadpun menegur mereka untuk tidak melakukan hal seperti itu. Belum selesai Ustad menjawab apa yang mereka tanyakan, mereka pun memotong pembicaraan ustad sambil teriak – teriak dan mengancam akan melakukan perhitungan jika Ustad Zainuddin datang kembali kesini. Mereka berbicara dan bersikap seakan preman yang tidak beradab dan jauh sekali dari pelajar atau santri. Kami yang kebetulan berada disamping ustad Zainuddin benar – benar heran apa sebenarnya yang mereka inginkan dari pertemuan ini, Bukankah mereka sendiri yang meminta untuk dialog ilmiah, tetapi mengapa mereka sendiri yang  justru merusak acara yang mereka inginkan sendiri. Dihadapkan kepada situasi seperti ini tentu kami tidak tinggal diam, kami meminta bantuan polisi untuk mengamankan kejadian ini.  Namun beberapa orang dari jamaah masjid yang kebetulan berada di lokasi meminta mereka untuk turun dari mobil dan mau untuk melakukan dialog. Tetapi mereka tetap menolak dan langsung tancap gas mobilnya meninggalkan tempat.  Melihat kejadian seperti ini tiba – tiba salah seorang Jamaah masjid Ridwan tidak terima sehingga dengan inisiatifnya sendiri melakukan pengejaran untuk memberhentikan mobil yang mereka tumpangi. Alhamdulillah, kurang lebih satu kilometer dari tempat kejadian, jamaah masjid ridwan dapat menghentikan mobil tersebut. Karena kita memang tidak ingin rame,terlebih lagi saat itu kira – kira pukul 23.00 WIB. Maka demi menjaga kemaslahatan bersama kita serahkan urusan ini ke Polres Pamekasan. Karena bagaimanapun kami terdzalimi upaya kekeluargaan untuk menyelesaikan persoalan ini tetapi harus kami dahulukan. Kami tidak ingin terjadi pengadilan jalanan meski kami sangat bisa untuk melakukannya. Maka setibanya di Polres Pamekasan, kita semua diintrogasi oleh Polisi terkait dengan masalah ini. Namun sekali lagi kami mendapatkan kejutan yang sangat luar biasa dari mereka. Penuturannya yang santun, senyum ramah, dan tutur kata yang lembut mereka tampilkan dihadapan Polisi sehingga terkesan mereka yang terdzalimi. Bagi kami pemandangan ini sangat luar biasa. Bagaimana mungkin hanya dalam hitungan jam, karakter mereka yang sangat tidak menghargai dan melecehkan kami tiba – tiba  berubah 180 derajat menjadi pribadi yang penuh rasa hormat kepada orang terlebih,khususnsya kepada Bapak Polisi, ini benar – benar hal yang tak masuk akal. Dan tidak cukup hanya disini, apa yang mereka tuturkan dihadapan polisi sangat berbeda jauh dengan fakta yang ada. Mereka katakan bahwa mereka datang dengan baik – baik tetapi justru panitia yang menghalang – halangi untuk bisa bertemu dengan ustad Zainuddin. Demi Allah kalau yang mereka katakan itu benar,niscaya tidak akan terjadi hal yang sangat memalukan seperti ini. Bukankah kami sudah menyediakan tempat dan bahkan tidak hanya itu saja, kami pun sudah men-setting acara dialog tersebut dengan alokasi waktu yang sama agar adil dan tidak terjadi debat kusir. Namun semuanya sia – sia. Kami yang dengan tulus meminta mereka untuk tidak berteriak – teriak karena selain jauh dari akhlaq islam, juga kami khawatir akan mengundang banyak massa yang kebetulan lewat di jalan yang memang terkenal padat itu justru kami yang dibentak – dibentak. Mereka seolah lupa bahwa mereka adalah tamu yang ada di wilayah kami. Mereka bahkan menganggap kami seperti anak kecil yang harus mengikuti semua kemauan mereka. Akhirnya apa yang kami khawatirkan terjadi. Banyak massa yang lewat di tempat kejadian tersebut berhenti sehingga membuat jalanan macet. Bagi kami ini benar – benar memalukan dan sangat menyakitkan. Namun demikian, kamipun berusaha sabar mengahadapi sikap mereka yang  sangat merendahkan harga diri kami, karena kami masih berharap bahwa hal ini hanya luapan emosi sesaat. Tapi harapan kami jauh panggang daripada api. Mereka justru menyalahkan kami dihadapan polisi karena kami dianggap tidak mau kooperatif (kerjasama) dengan mereka. Atas tuduhan ini kamipun meminta mereka untuk tidak membolak-balikkan fakta. Akhirnya kami menantang mereka untuk membuktikan tuduhan dusta tersebut dengan meminta mereka mengeluarkan hasil rekaman mereka saat mencerca ustad Zainuddin. Namun  tak satupun diantara mereka yang punya sikap gentle untuk mengeluarkannya. Karena mereka tahu jika hasil rekaman diberitahukan kepada polisi niscaya apa yang mereka tuduhkan kepada kami akan terbantahkan dengan hasil rekaman mereka sendiri. Tapi biarlah Allah subhanahu wata’ala yang akan menjadi saksi atas semua itu.

 

Akhirnya  hanya dengan mengharap ridho Allah subhanahu wata’la, mudah – mudahan melalui surat terbuka ini masyarakat Pamekasan, khususnya jama’ah masjid Ridwan bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi.

 

 

 

Pamekasan, 10 Maret 2015

 

Hanif Thalib,

Ketua Takmir Masjid Ridwan

Minggu, 08 Maret 2015

Adzan terakhir bilal

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﻣُﺤَﻤَّﺪ

■■■ KISAH BILAL & ADZAN TERAKHIRNYA ■■■

Semenjak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, Bilal radhiyallahu 'anhu menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
Ketika Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memintanya untuk menjadi muadzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: "Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa- siapa lagi."
Abu Bakar pun tak bisa lagi mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Rasulullah terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: "Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?"
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk
ziarah ke makam Rasulullah. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Rasulullah.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah, Hasan dan Husein radhiyallahu 'anhuma. Dengan mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut.
Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal: "Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami." Ketika itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma yang
telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.
Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia
adzan pada masa Rasulullah masih hidup.
Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok Nan Agung, suara yang begitu dirindukan itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata Asyhadu an laa ilaha illallah, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sambil berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat bilal mengumandangkan Asyhadu anna
Muhammadan Rasulullah, Madinah pecah oleh tangisan yang sangat memilukan.
Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu madinah mengenang masa saat masih ada Rasulullah diantara mereka. Hari itu adalah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Adzan yang tak bisa dirampungkan.

Sumber : Shuwar Min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

via : Abu Umar Maadsa

Rabu, 04 Maret 2015

Terjemah Surat Ibrahim Ayat 35-41

Ayat 35-41: Mengingatkan orang-orang Quraisy terhadap doa nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, kehormatan Baitullah, pentingnya doa dan sungguh-sungguh melakukannya sambil menampakkan kerendahan dan kebutuhan kepada-Nya.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ (٣٥) رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٦) رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ (٣٧) رَبَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِي وَمَا نُعْلِنُ وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ (٣٨) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ      (٣٩)رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (٤٠)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ    (٤١)
Terjemah Surat Ibrahim Ayat 35-41
35. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman[1], dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala[2].
36. Ya Tuhanku, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia[3]. Barang siapa mengikutiku[4], maka orang itu termasuk golonganku[5], dan barang siapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[6].
37. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan[7] sebagian keturunanku[8] di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman[9] di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat[10], maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung[11] kepada mereka[12] dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan[13], mudah-mudahan mereka bersyukur.
38. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan; [14]dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.
39. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq[15]. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.
40. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan shalat[16], ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku (itu).
41. Ya Tuhan kami, ampunlah aku dan kedua ibu bapakku[17] dan semua orang yang beriman pada hari diadakan hisab (hari kiamat).”
- See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-ibrahim-ayat-35-52.html#sthash.VgIRe00Y.dpuf